Benarkah ada kartel yang mempengaruhi harga daging sapi di pasaran?
Berita 1
KARTEL SAPI BERMAIN
JAKARTA
-- Kartel diyakini menjadi penyebab tingginya harga daging sapi saat Ramadhan
ini. Merekalah yang memonopoli distribusi daging sehingga pemerintah kesulitan
mengendalikan harga di tingkat pengecer yang sekarang minimal Rp
120.000/kg.
''Sedikitnya
ada lima kartel besar. Kita sudah tahu, tapi tak mau dibuka dulu. Kalau dibuka,
nanti kabur,'' kata Wakil Ketua MPR Oesman Sapta di Kompleks Parlemen Senayan,
Jakarta, Rabu (8/6). Ia menilai, sikap Presiden yang menginginkan harga daging
sapi Rp 80.000/kg itu benar.
Keinginan
itu berdasarkan saran para menteri meski ada menteri yang keliru memberi
masukan. ''Tapi, gila enggak, faktanya ada yang merusak sistem sehingga tugas
dari Presiden tidak jalan karena kartel ini dilindungi kelompok-kelompok yang
tidak benar,'' ujar Oesman.
Wakil
Ketua MPR Hidayat Nur Wahid meminta Presiden Joko Widodo blusukan bukan hanya
ke pasar, melainkan ke pusat-pusat penggemukan dan pengepul sapi untuk
mendapatkan fakta. Hal itu untuk memastikan apa yang diharapkan, yaitu harga
daging murah bisa terwujud.
''Ya,
kalau Presiden hanya meminta, lalu tak dilaksanakan dan diam saja, wibawa
beliau ada di mana?'' tanya Hidayat. Ia menuturkan, dulu persoalan daging sapi
pernah dibongkar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang menyebut ada
permainan di antara pebisnis besar.
Ketua
KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan, panjangnya rantai distribusi dapat memicu
timbulnya praktik kartel atau persengkongkolan. Dalam hal ini, KPPU telah
menjatuhkan sanksi terhadap 32 feedloter atau perusahaan penggemukan sapi yang
terbukti melakukan praktik kartel.
Mereka
dijatuhi denda yang totalnya Rp 107 miliar. Sanksi yang diberikan itu terkait
gejolak dan fluktuasi harga daging sapi dalam beberapa waktu terakhir. KPPU
akan mengawasi persaingan usaha, terutama dalam bidang pangan menjelang
hari-hari besar.
Ia
menjelaskan, karakteristik rantai distribusi saat ini sangat panjang dan di
setiap titik ada perusahaan dominan. Perusahaan dominan di pasar ini berpotensi
untuk bersekongkol sehingga harga menjadi tinggi atau bahkan mereka bersepakat
menetapkan harga.
"Jika
persoalan rantai distribusi ini tidak segera diperbaiki, kemungkinan akan
timbul praktik kartel di komoditas pangan lainnya," kata Syarkawi,
kemarin. Pada 24 Agustus 2015, KPPU mengungkapkan dugaan praktik kartel oleh
pengusaha daging sapi.
Kartel
telah membuat lonjakan harga daging sapi di pasar dalam kurun tiga tahun. ''Ada
indikasi persekongkolan antarpengusaha dalam menyuplai daging sapi setiap tahun
pada Agustus," kata Direktur Penindakan KPPU Goprera Panggabean.
KPPU
mengamati, harga daging sapi di pasar mengalami kenaikan setiap Agustus sejak
2013. Goprera mencontohkan, harga daging sapi pada Februari 2014 mencapai Rp
98.975/kg menurun Rp 98.477/kg pada Maret 2014.
Pada
April 2014 menurun Rp 97.928/kg, hingga Mei kembali menurun menjadi Rp
97.745/kg. Namun, memasuki Juni meningkat Rp 98.447/kg, hingga melonjak pada
Juli mencapai Rp 100.879/kg dan Agustus sekitar Rp 100.835/kg.
Kemudian,
harga turun kembali menjadi Rp 99.896/kg pada September hingga Desember 2014.
Goprera menyebutkan, kenaikan harga daging sapi pada Agustus 2015 mencapai
puncaknya hingga menembus Rp 130.000/kg.
Terkait
tren kenaikan harga daging sapi itu, Goprera mengungkapkan, pihaknya
menyelidiki 35 importir sapi. KPPU juga saat itu berencana menyidangkan pelaku
usaha yang diduga memengaruhi harga daging sapi guna mengatur produksi dan
pemasaran.
Mereka
dianggap telah melanggar Pasal 11 Undang-Undang KPPU Nomor 5 Tahun 1999. Pelaku
usaha tersebut terancam denda Rp 1 miliar hingga Rp 25 miliar jika terbukti
melanggar hingga terjadi monopoli yang mengakibatkan bisnis tidak sehat.
Berita 2
Bisnis.com, JAKARTA - Saksi ahli dari pihak Komisi
Pengawas Persaingan Usaha menilai dampak kenaikan harga daging sapi patut
diduga disebabkan oleh adanya perilaku anti persaingan usaha.
Saksi ahli hukum persaingan usaha Prahasto W.
Pamungkas mengatakan terjadinya dampak kenaikan harga bisa disebabkan oleh
suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Tindakan tersebut dapat
berpengaruh jika dilakukan oleh beberapa pihak secara bersama-sama.
"Pelaksanaan tindakan tersebut bisa saja
dilakukan melalui perjanjian yang disepakati, baik berbentuk tertulis atau
lisan, ini yang harus diselidiki KPPU," kata Prahasto dalam sidang
pemeriksaan dugaan kartel perdagangan sapi impor, Rabu (20/1/2016).
Dia menjelaskan unsur dalam perilaku kartel
disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bunyi pasal tersebut, pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Prahasto menuturkan dugaan penahanan pasokan yang
dilakukan oleh 32 terlapor dikaitkan investigator Komisi dengan kenaikan harga
daging sapi di pasaran. Hal tersebut perlu dikuatkan dengan adanya perjanjian
dan bukti keuntungan dari pelaku usaha.
Jika mengacu pada Pasal 11, lanjutnya, dampak
keuntungan maupun kenaikan harga tidak diperlukan. Selama unsur perjanjian dan
pengaturan pasokan terpenuhi, maka para terlapor sudah memenuhi tindakan kartel
yang tercantum dalam pasal tersebut.
Menurutnya, pembuktian keuntungan maupun kerugian
para terlapor membutuhkan alat bukti ekonomi atau circumstantial
evidence. Pembuktian tersebut menuntut adanya pengamatan terhadap keadaan
yang berkaitan, kendati belum tentu bisa membuktikan adanya perjanjian.
Sementara itu, kuasa hukum para terlapor Rian
Hidayat mengatakan selama persidangan Komisi belum bisa membuktikan adanya
perilaku kartel maupun penahanan pasokan. "Selama ini belum pernah
disebutkan perjanjian mana dari kami yang membuktikan adanya kartel," kata
Rian yang mewakili Terlapor 1, 5, 22, 28, 29, dan 30.
Dia menjelaskan para terlapor tidak mungkin
melakukan kartel karena kekuatan pasar rata-rata masih di bawah 3% secara
nasional.
Rian menjelaskan pasokan daging sapi dalam negeri
sebagian besar berasal dari impor. Produksi sapi lokal dinilai masih sangat
minim. Di sisi lain, kuota impor dari pemerintah turun drastis dengan jumlah permintaan
yang semakin meningkat. Alhasil, terjadi kenaikan harga di pasar.
Menurutnya, kebijakan kuota dari pemerintah juga
harus disorot oleh KPPU. "Ahli yang dihadirkan oleh Komisi menurut kami
tidak kompeten karena bukan merupakan tenaga pengajar akademis di bidang
persaingan usaha," ujarnya.
Dalam Perkara No. 10/KPPU-1/2015 ini memeriksa 32
terlapor tentang dugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU. Nomor
5/1999 dalam perdagangan sapi impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi (Jabodetabek).
Jika terlapor terbukti melakukan praktik kartel,
maka sesuai undang-undang, pelaku usaha akan diganjar denda dengan rentang
minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp25 miliar.
Kesimpulan
:
Menurut
pendapat saya berdasarkan kedua sample berita di atas terdapat dugaan bahwa
pelaku usaha melakukan sebuah persengkokolan dengan cara memainkan tingkat
harga daging sapi di pasaran dengan motif untuk mendapatkan keuntungan yang
berlipat ganda. Pak Jokowi pun selaku Presiden Republik Indonesia telah
memberikan sebuah keputusan agar harga daging sapi di pasaran bisa di bawah Rp
80.000 per kilogram. Menurut saya, hal tersebut cukup sulit untuk
direalisasikan karena harus ditelusuri dari akarnya yaitu para peternak sapi.
SUMBER :
Komentar
Posting Komentar